(Aisyah Istiqomah Marsyah)
Kelaparan
adalah burung gagak. Yang licik dan hitam. Jutaan burung-burung gagak bagai
awan yang hitam.*
Bukk!!
“Berhenti ngoceh Item. Makanya kerja, cari uang biar gak kelaparan!”
Mata emak yang melotot tajam, menyembul dari balik pintu. Dari mulut keringnya,
keluar omelan panjang bak koakan gagak hitam yang menakutkan.
Aku mengerang, mengusap kepalaku yang kena lemparan mangkok. Untung saja
mangkok plastik, kalau terbuat dari kaca, bisa pecah nih kepala. Aku
bergidik membayangkannya.
“Biarin,
biar pecah sekalian batok kepalamu. Ngegombalin hidup tiap hari,
kelaperan tiap saat, nyusahin ajha jadi anak.” Aku tercekat, lho kok emak
tau isi pikiranku sih. “Gue kan emak lu item!”
Gue, lu?
Aku
bersiap loncat dari bale-bale sebelum pertunjukan itu dimulai. Benar
saja, tak lama setelah pantatku lepas dari bambu-bambu reot, jeritan panci yang
beradu dengan ember terpantul-pantul di dapur. Keluar melewati dinding bocor.
Aku mendengarkan orkestra pagi dari balik pohon mangga di belakang rumah.
Dengan nafas memburu, aku menyesali keadaan yang sama tiap hari. Isyarat
kemarahan emak adalah perubahan katanya yang halus nan puitis menjadi gaul
anarkis. Berarti emak benar-benar mengamuk, kali ini. Lagi.
“Capek-capek
gue nguliahin lu bertahun-tahun, nggak ada hasilnya. Empet
gue. Asem dah. Kerja Item, kerja, berusaha sekuat tenaga atau
siap-siap kita jadi gelandangan. Lu mau lihat emak lu mati
kekeringan, diuber-uber Engkong Sanip gara-gara hutang kita udah kayak gunung
Merapi mau meletus lagi. Item, Item…”
Hidup
tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh, Hidup adalah untuk mengolah hidup.*
Aku
menggumamkan syair bang Rendra untuk kesekian kali. Suara emak mulai samar
terdengar, mungkin ia kehabisan tenaga, atau sedang membereskan kekacauan yang
dibuatnya sendiri. Tapi aku yakin, emak sedang berpuisi dalam hati. Berapa kali
pun ia menyatakan kebosanannya mendengar syair-syair yang keluar dari mulutku,
binar matanya berkata lain, ia akan berbalik dan lirih menyambung puisi yang
tak khatam.
Bapak
adalah keturunan pujangga yang mahsyur di tanah Jawa, bahkan sebelum mengenal
bapak emak tak tahu apa-apa tentang puisi, namun mereka disatukan oleh
syair-syair dan menelurkan cinta puisi padaku. Rendra. Begitulah mereka
menamakanku. Berharap aku seperti si burung merak yang
mengembangkan sayap sastra. Aku suka harapan itu. Kerena aku mulai mencintai
puisi. Seperti emak.
Mengolah
hidup, beritahu
aku caranya bang Rendra.
###
Menjadi pengangguran adalah tekanan mental yang tak terdeskripsikan. Apalagi
gelar bercokol di belakang nama. Desakan emak juga jeritan panci-panci
menghantui. Sapaan menyakitkan tiga kali sehari, “Kerja dimana sekarang, Ren?”
Oh Tuhan, ada sembilan puluh sembilan pintu rejeki. Tak ada satu pun yang terbuka
untuk hamba sahaya ini. Atau, belum jodohku?
Aku menatap diriku di cermin. Dasi yang sama. Kemeja yang lalu. Ikat pinggang
peninggalan bapak. Ah, mengenakan pakaian terbaik untuk melamar pekerjaan yang
angkuh bak putri raja. Lagi. “Semoga saja hasilnya tak sama seperti dulu-dulu.”
Aku merapal doa. Sekilas mataku tertubruk pada mata yang penuh kelegaan,
kebebasan, memegang toga, menggenggam tangan emak. Aku tertunduk. Malu pada
diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu, tak kusangka, kiranya gerbang kesuksesan
telah terbuka untuk pemuda bertitel ini. Tapi tidak. Oh, belum. . .
“Emak,” panggilku dari balik pintu kamar yang tertutup rapat. “Rendra, mau
berjuang lagi. Doakan yah mak, mungkin sekarang rejekiku.” Tak ada sahutan. Aku
melenggang pergi penuh harap. Pagi buta.
Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan, anakku. . .*
Wanita bermukena putih bersimpuh di atas
sajadah, menyisipkan syair di antara rentetan doa. Melinangkan air mata dan
mengusapnya. “Bukan emak tak tahu perjuanganmu mencari pekerjaan, hanya emak
tak ingin kamu berputus asa dan berlindung pada syair di pagi, malam, siang
hari. Seharusnya syair-syair itu membangkitkanmu, bukan menina-bobokanmu.”
Fajar menyingsing. Emak membereskan panci-panci di dapur yang tak sempat ia
bereskan tadi malam. Bersajak dalam keremangan.
###
Aku tak pernah lagi memakai syair untuk menggombal wanita, karena kutemukan
sekarang mereka tak menoleh biar secuil pada sajak romantis. Tanpa embel-embel
yang lain. Makan tuh puisi! Begitulah hasilnya ketika aku bermodal nekat
membawakan sejumput puisi dari Khalil Gibran.
Aku
mulai berpuisi untuk hidupku. Hidup yang mencari-cari arah, seperti sekarang
ini terjebak di kerumunan pasar tanpa tujuan. Aku lelah mengetuk pintu-pintu
lembaga, tidak ada lowongan mas, bosan aku mendengarnya. Aku tak ingin
pulang dengan tangan hampa, tak ingin mengecewakan emak lagi. Aku akan ke rumah
Bang Ijul menerima tawarannya untuk menjadi kernet, menggantikan anak buahnya
yang terjatuh kemarin. Entah, apakah ini dapat menghapus rasa kecewa
emak.
Berpuisilah
di jalan, pujangga.
Ujar Bang Ijul mantap sambil tertawa kecil.
###
Suasana dapur sunyi. Emak tak mengatakan apa-apa mengenai pekerjaan baruku.
Susah payah aku menelan nasi, takut-takut ada panci nyasar terlempar tepat di
jidatku. Aku menunggu-nunggu. Tapi, tak ada yang terjadi hingga suapan
terakhir.
Apakah emak berpuisi dalam kebisuannya?
###
“Emak, apa emak nggak keberatan aku cuma jadi kernet.” Aku membuka suara. Emak
menoleh, menaruh baju yang sedang dijahitnya. Lalu, menggeleng. Dahiku
mengernyit, tak percaya.
“Aku masih mencoba mencari pekerjaan lain. Menjadi kernet bukan pilihan
terakhirku, mak. Pekerjaan ini lumayan sulit dan sangat melelahkan.”
“Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.
Kesukaran selalu ada-” Emak membaca penggalan puisi, Sajak Potret Keluarga,
digantung dengan senyuman.
“Itulah yang namanya kehidupan.” Sambungku. Emak mengangguk. Malam itu, rasa
lelah dari segala kepenatan di jalan terlupakan. Hanya ada senyum emak yang
menggantung di langit-langit kamar. Kami berpuisi.
###
Kehidupan seperti pecahan huruf, sang pujangga akan merangkai kata, kata
dipilin menjadi kalimat. Berbuah bait. Menggabungkan bait-bait dan memformatnya
menjadi bab. Bab kehidupan baru Si Item.
Orang-orang
terpukau. Mengelu-elukan namaku. Menyimpan baik-baik kata per kata dari sang
pujangga yang berorasi dengan diksi manis semanis madu. Dipayungi bendera
perpaduan tiga warna, aku menatap ribuan pasang mata yang menanti kelanjutan
ucapanku.
“Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan
lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan.*”
Semua mengacungkan tangan meneriakkan ‘Merdeka’ berkali-kali. Entah siapa yang
menyuruh mereka. Bang Ijul tersenyum jumawa di baris depan, mungkin bangga
melihat mantan anak buahnya menjadi calon orang nomor satu di ibu kota. Namun,
tidak dengan emak.
“Kelak, kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Merdeka!” tutupku.
###
“Item, lu berpuisilah di bale-bale reot itu. Emak rela. Kalo lu
masih nganggap gue emak, jadilah pujangga kedelapan setelah bapakmu.
Pujangga yang menjadikan syair untuk membangkitkan, bukan menina-bobokan.
Berhentilah berpuisi, berhentilah nak. . . ”
Jeritan panci kembali terdengar dari dapur yang sempat sunyi 20 tahun lamanya.
Dimuat di
Harian Fajar 18 Maret 2012.
*puisi-puisi
yang tercantum diambil dari kumpulan karya WS. Rendra
0 komentar:
Posting Komentar