(Alif Indra. T)
Tik…tik…tik…tik…bunyi jam di dinding sangat terasa masuk ke alam
bawah sadarku dan membuat kelopak mata ini terbuka dengan sendirinya. Waktu
menunjukkan pukul sepuluh lewat. Tidak biasanya aku bangun sesiang ini. Segelas
susu dan beberapa potong roti sudah dari tadi datang berkunjung di kamar
mewahku untuk menyambut minggu pagi yang selalu saja sama.
Sejenak aku tersadar, pakaian yang melekat sekarang adalah pakaian yang
semalam aku kenakan tuk menemuinya. Kaos biru oblong, celana jeans panjang, ah,
kaos kaki juga. Wajar saja energi dan pikiranku terkuras sampai mendekati nol.
Ini akibat pertengkaran sengit dengannya semalam. Pertengkaran yang membahas
masa depanku dan dirinya.
Dengan perasaan kacau, perlahan kugerakkan tubuh ini menuju sebuah
ruang. Dimana rasa lelah dapat mengalir bersama kecipak air yang jatuh bebas di
badanku. Yah, kesegaran pun kembali menyapa tubuhku. Semua kebiasaan pagiku yang
tinggal sepotong telah kutunaikan. Mencoba melupakan masalah semalam, kubiarkan
HP mungilku mendendankan suara Ariel yang kini telah bebas. Aku pun ingin
bebas, batinku.
Ah, dia. Apa kah dia terluka ooleh perlakuanku semalam?
Untuk menghilangkan kebosanan dari ingatan akan dirinya lagi,
kuberjalan ke sudut kamarku. Kubuka lemari yang berisikan koleksi komik
kesukaanku yakni “Detektif Conan”. Hampir semua serinya masuk dalam koleksiku.
Dan hari ini, aku ingin membaca seri terbaru dari koleksiku. Seri 217 dan 218 yang
kudapat dua hari lalu di toko Gramedia. Lembar demi lembar kubaca, kubaca dan
kucermati isi cerita di dalamnya. Tanpa terasa sore pun datang bertamu di hari
ini. Teringat janji dengan tema-teman untuk bermain futsal. Bergegas kubersiap
dan memenuhi janji itu. Agenda wajib yang aku lakukan setiap minggu sore sampai
hari menjelang malam, tepatnya pukul 18.00 waktu setempat.
Puas berkeringat, kembali aku menyegarkan diri. Semua yang
kulakukan hari ini benar-benar membuat aku lupa dengan si dia. Ini semua sudah
aku rencanakan sejak semalam untuk putus kontak dengannya sehari. Sungguh kejam
aku ini, tapi tak apalah. Itu keputusanku. Semua beres, kuraih dan kuaktifkan
kembali Hp yang sejak siang tadi ku-charge. Belum lama aktif, Hp mungil ini
bersuara. Tetett…tetett..suara yang kusetting sebagai tanda ada pesan singkat
datang menghampirinya. Bersuara berulang-ulang dan terus berulang. Alhasil 17
pesan singkat datang bertamu dan ini tidak biasanya. Seperti oranglain pada
umumnya, satu persatu pesan itu kubaca. Sejak awal sampai yang ke 17, semua
isinya hampir serupa tapi tak sama. Tapi itu semua membuatku tercengang, diam
tanpa kata. Kaku bagaikan mayat. Seolah tubuhku berubah menjadi sebuah patung
batu yang sulit kugerakkan. Tapi kucoba untuk rileks.
30 menit berlalu, aku sudah tiba di sebuah gedung yang dimaksud
dari 17 pesan singkat itu. Tempat yang dominan warna serba putih. Dari kejauhan
kulihat beberapa orag yang dari tadi menungguku termasuk 4 orang di antaranya
adalah pengirim dari ke 17 pesan singkat tersebut. Yang lain tak bukan, mereka
adalah orang terdekatku. Teramat dekat. Mereka semua sejak tadi menunggu di
depan ruangan yang berlabelkan RUANG OPERASI. Hampir 7 jam mereka gelisah di
depan ruangan ini. Mendoakan keselamatan orang yang kutemui semalam. Aku pun
tak lupa memberikan doa-doa yang telah aku panjatkan sebelumnya. Di sudut
ruangan itu aku melakukannya.
Hanyut dalam heningnya pengharapan, salahsatu orang terdekatku,
teramat dekat, datang dan memeluk tubuh yang lemah ini dengan erat, sangat
erat. Meenenangkan diriku sembari untuknya juga dan seraya berkata,
“Yang sabar, ini semua adalah takdir-Nya yang harus kita terima,
kita hanya bisa berharap mujizat dari Sang Pencipta.”
Melihat suasana agak kondusif, aku mulai angkat bicara untuk
mengetahui penyebab semua ini. Aku kembali kaku tak berdaya, diam membisu,
terpukul setelah mengetahui penyebabnya adalah murni atas kesalahanku. Airmata
tak terbendungkan lagi menemani rasa bersalahku.
Kejadiannya, pas setelah dia bertemu denganku malam itu. Dia pergi
meninggalkanku dengan mengendarai motor kesayangannya. Pergi dengan wajah
meneteskan airmata setelah kubentak. Kucaci sedemikian rupa yang membuat hati
lembutnya terluka. Tanpa kusadari dia mengalami kecelakaan maut tepat dimana
tak ada kontak mata lagi dia denganku. 15 menit setelah perbuatan yang tidak
mengenakkanku itu.
8 jam berlalu, rasa cemas kian menusuk hingga sanubari. Dari
ruangan itu, seorang dokter penuh keringat diikuti beberapa orang yang hampir
sama dengannya keluar dan dengan berat hati mereka menggeleng-gelengkan kepada
sebagai isyarat dia tidak tertolong lagi. Dia sudah pergi jauh meninggalkanku.
Tak lama, 2 orang perawat ikut keluar dengan membawa tempat tidur beroda yang
diatasnya terdapat jasad orang yang aku temui semalam. Begitu lemah dan tak
berdaya tubuh ini menyaksikan apa yang terjadi dihadapanku.
Aku orang yang paling bertanggung jawab, orang yang paling
bersalah, orang yang pantas dihukum sebagai penyebab semua kejadian ini. Andai
malam itu, aku tidak membentak dan mencacinya, mungkin wanita yang biasa aku
serta keempat orang terdekatku, teramat dekat panggil dengan sebutan IBU masih
bersama kami lagi. Sebagai keluarga sederhana seperti dulu sebelum Ayahku
menikah lagi dengan wanita lain yang tinggal bersamaku sekarang.
Malam itu, IBU hanya ingin aku tinggal bersamanya lagi. Hidup
bersama keempat saudaraku. Di rumah sederhana yang penuh canda tawa, riang
gembira, tempat aku dibesarkan sampai berusia 17 tahun. Maafkan aku IBU…aku
anak yang tidak berterima kasih. Aku hanya bisa melukai perasaan IBU.
Sungguh-sungguh aku menyesal. Semoga ibu tenang disisi-Nya. Doaku selalu
menyertai IBU tersayang. IBU tercinta. Yang selalu dan selamanya di hatiku…
Maros, 09 Juli 2012
Oleh Alif Indra T.
kerennnyaaaa (y) Selamat selamat :)
BalasHapusis that real story ?
BalasHapus